Rabu, 27 Juli 2016

Metode Pendekatan Penilaian - Berbagai Versi




Secara Umum ada 3 Pendekatan Penilaian yang berlaku umum yakni:
1. Pendekatan Pasar (Market Approach)
2. Pendekatan Biaya (Cost Approach)
3. Pendekatan Pendapatan (Income Approach)

Namun dalam Buku SPI terbaru ketiga bagian besar tersebut diatas dibagi lagi menjadi:

1. Pendekatan Pasar (Market Approach) terdiri atas:
      ·     Direct Comparison Method
·     Comparison Method
·     Direct Sales Comparison
·     Sales Comparison

  Nilai Properti = Harga pasar properti pembanding ± adjustment

2. Pendekatan Biaya (Cost Approach)
    Menurut Perhitungan RCN (Reproduction Cost New) atau Biaya Reproduksi Baru (BRB)            dikurangi Perhitungan Penyusutan (fisically, functionally, and econommically)
  
  Nilai Properti = Nilai Tanah + Nilai Bangunan Terdepresiasi

3. Pendekatan Pendapatan (Income Approach)
  Ada 4 Metodologi Untuk mengukur Penilaian sesuai Pendapatan:

      1.     Gross Income Multiplier (GIM ) / Net Income Multiplier (NIM)
2.     Direct Capitalization
3.     Discounted Cash Flow (DCF)
4.     Residual Technique

Sehingga:
Nilai Properti          =   Pendapatan Operasi Bersih
                                         Tingkat Kapitalisasi          

Kamis, 19 Mei 2016

UNDERSTANDING LAND


In economics, land is regarded as one of the four agent of production, along with labor, capital and entrepreneurship
Land can be owned, traded and used by the individuals beside of the property that can be shared by all people and as a commodity
The Attributes of Lands:
-          Each parcels of land is unique, in its location and composition
-          Land is physically immobile
-          Land is durable
-          The Supply of land is finite
-          Land is useful to people

Concept of Land: - Governmental and legal
“The legal profession doesn’t focus on the physical characteristic of the land, but on right and obligation associated with the various interests in land. Such as contractual land transaction, renting the land for usage.
Possible conflict is between private ownership and public use.
Land not only the ground but also; everything that attached to the earth, whether by course of nature, as are tree and herbage, or by the land of man, as are houses and other buildings, it means not only the surface of the earth but everything under it and over it.
So land both is a resource and a commodity, but there are no clear cut solutions to this conflict
Real estate; a physical land and appurtenances affixed to the land, such as structure, its tangible and immobile
So Real estate in the legal definition called includes land and all things that are natural part of land (trees, minerals) as well as all things that are attached to it by people (buildings, site improvements, all permanent building attachments (plumbing, electrical wiring, heating’s systems), as well as built in items (cabinets, elevator) are usually considered as a part of real estate.
Real Property; Includes all interests, benefits, and rights inherent in the ownership of physical real estate. So the real property is the bundle of rights, inherent in the ownership of real estate.
Ownership rights include the right to use real estate, to sell it, to lease it, to enter it, to give it away, or to choose to exercise all or none of these rights.  
Personal property; includes movable items that are not permanently affixed to, or part of the real estate, and not endowed with the rights of real property ownership. The example of personal property such as refrigerators, freestanding shelves. Etc
A trade fixture, not a real estate, but fixture are real estate, a trade fixture are similar with chattel fixture, is an article that its owned and attached to a rented space or buildings by a tenant and used in conducting a business. For examples; restaurants boots, gasoline stations pumps, storage tanks, and the fitness equipment in a health club. So a trade fixture is to be removed by the tenant when the lease expires unless this right has been surrendered in the lease.

Appraisal practices include appraisal, consulting and review.

Minggu, 14 Februari 2016

Mangadar Situmorang, Ph.D: Badan Otorita Danau Toba

Ada tiga kata kunci yang diusung keputusan pemerintah untuk membentuk Badan Otorita Danau Toba.

Pertama, koordinasi. Melalui badan ini seluruh dimensi dari sebuah industri pariwisata dapat disinergikan menjadi sebuah paket yang terintegrasi. Kedua, akselerasi. Melalui badan ini pola kerja yang selama ini lambat dan sangat birokratis dicoba dipercepat dengan otorisasi yang tidak saja koordinatif, tetapi juga instruktif. Ketiga, eksekusi. Dengan otoritas tunggal ini, upaya-upaya kompromi antarsektor dan antarinstansi yang kerap membelenggu keputusan hanya sekadar keputusan akan dapat diatasi. Singkatnya, BODT dimaksudkan untuk sesegera mungkin mengeksekusi amanat- amanat konstitusi, Nawacita, atau janji-janji politik presiden.

Namun, penting untuk mempertanyakan seberapa jauh legitimasi dan efektivitas BODT? Pertanyaan ini sangat pantas dijawab untuk kemudian bisa mengatakan bahwa keberadaan BODT adalah sebuah keniscayaan yang patut diapresiasi.


Otoritas pariwisata

Sejumlah kalangan antusias menanggapi keputusan pemerintah membentuk BODT yang mengemban amanah menjadikan Danau Toba sebagai Monaco of Asia. Walau tidak banyak yang tahu seperti apa itu Monaco atau di mana letak quasi-negara itu, asosiasi instinktif mereka menggambarkannya sebagai sebuah tempat atau situasi yang luar biasa hebatnya, gemerlap, hidup, dan penuh daya pikat.

Itu artinya kawasan Danau Toba, yang selama ini dikenal remote, tertinggal, dan bahkan terancam, akan segera berubah menjadi sangat dekat, mudah dijangkau, dan tempat yang amat menyenangkan dan menghibur. Bersamaan dengan itu, terbayangkan pula kedatangan puluhan ribu wisatawan dari berbagai penjuru mata angin dengan membawa banyak uang untuk dibelanjakan. Pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial sekitar 600.000 penduduk yang tersebar di tujuh kabupaten sekelilingnya akan meningkat. Antusiasme berjangka pendek, tetapi lebih realistis ditunjukkan oleh mereka yang memiliki naluri bisnis sangat tajam.

Mengetahui pemerintah akan menggelontorkan sekitar Rp 21 triliun untuk mengubah Danau Toba sebagai destinasi wisata internasional, mereka mulai menyusun strategi dan langkah-langkah taktis agar bisa mendapat bagian dari berbagai proyek pembangunan baik yang meliputi infrastruktur, seperti pembangunan Jalan Tol Kualanamu-Parapat, jembatan atau bahkan bandara, maupun yang terkait struktur utama dari sebuah industri pariwisata, seperti perhotelan, agen perjalanan, restoran, dan berbagai EO ragam pertunjukan yang akan disuguhkan. Tak tertutup kemungkinan, para pebisnis hitam boleh jadi sudah menyusun daftar usaha yang mungkin dilakukan, termasuk yang berkategori gelap dan ilegal.

Bagi pemerintah sendiri menyulap Danau Toba sebagai tujuan wisata dunia bukanlah sebuah imajinasi. Pemerintah membangun sebuah proyeksi yang berbasis kalkulasi ekonomis dan teknokratis sekaligus politis, sehingga realisasinya tampak sebagai sebuah keniscayaan.

Tidak perlu mempertanyakan legitimasi pembentukan BODT, karena itu adalah prerogatif presiden. Yang patut ditekankan adalah signifikansi pariwisata sehingga ia seakan memiliki kekuatan pemaksa, hingga seorang presiden dan para menteri pun tidak boleh mengabaikannya. Sebagaimana sering dikemukakan pariwisata merupakan salah satu sektor penting yang menunjang pertumbuhan ekonomi global (3-4 persen) dan nasional (9-10 persen).

Menurut para ahli industri, pariwisata memiliki multiplier effect yang luas. Juga dikemukakan bahwa pariwisata merupakan sektor ekonomi yang tidak terlalu rentan terhadap krisis ekonomi global dan bisa sebagai sabuk pengaman perekonomian nasional apabila krisis terjadi. Eksplanasi makro ini juga berlaku untuk Provinsi Sumatera Utara dan tujuh kabupaten yang terdapat di sekitar Danau Toba.
Potensi wisata yang luar biasa yang dimiliki kawasan Danau Toba tampaknya telah mendorong presiden dan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli segera mengonversikannya menjadi sumber penerimaan devisa. Sebagai international geopark warisan sejarah bumi dan turut membentuk peradaban umat manusia, puncak-puncak gunung yang melingkari danau yang luas dan tenang itu adalah komoditas bernilai jual tinggi dan menghasilkan devisa negara.

Proyek dan proyeksi

Hitung-hitungan ekonomis Rizal Ramli tentulah tidak berujung hanya dengan munculnya berbagai proyek-proyek yang bersifat sektoral dan sesaat. Pak Menteri ini pasti telah merangkai sebuah proyeksi tentang ekowisata Danau Toba yang multidimensi, komprehensif, dan berkelanjutan. Proyeksi semacam itu akan memperkuat legitimasi dan efektivitas BODT.

Pertama, BODT perlu sejak awal menyadari bahwa Danau Toba dan kawasan sekitar bukan semata-mata obyek alam, melainkan juga obyek kultural. Masyarakat di sekitar memiliki sejarah dan keterikatan dengan alam. Bangunan kultural ini tidak hanya menghadirkan keunikan, keagungan, atau keluhurannya, tetapi juga termasuk kelemahan dan kekurangannya. Bagi sebagian masyarakat, khususnya subetnik Toba, kaki gunung (pusuk) Buhit diyakini sebagai tempat lahirnya si Raja Batak dan asal-usul masyarakat Batak.
Dari daerah inilah keturunannya selanjutnya menyebar (diaspora) baik di sekitar Danau Toba dan Samosir maupun ke daerah lain di Sumatera, Indonesia, serta mancanegara. Belakangan ini, semakin banyak praktik di mana orang Batak yang meninggal di perantauan dibawa pulang dan dimakamkan di daerah asalnya. Dengan kata lain, Samosir dan daerah sekitar Danau Toba tidak hanya bermakna sebagai tempat (locus), tetapi habitus yang menyatupadukan aspek-aspek teritorial, kultural, dan spiritual. Karena itu, menjadi perlu untuk mengkhawatirkan apakah ritual-ritual semacam itu akan menjadi komoditas yang juga akan “dijual”.

Kedua, sangat penting pula menegaskan bahwa masyarakat setempat harus menjadi pelaku utama dalam pengembangan budaya baru bernama industri pariwisata ini. Walaupun orang Batak biasa dikenal pintar, tegas, pekerja keras, toleran, dan memiliki kemampuan adaptasi yang luar biasa, semua karakteristik itu tidak lantas sejalan dengan tuntutan usaha jasa pariwisata. Layanan berstandar internasional sebagaimana diinginkan boleh jadi merupakan kualifikasi yang justru akan memarjinalkan dan mengeliminasi. Sementara itu, kepintaran dan ketegasan pun tidak selalu berkorelasi positif dengan kesediaan berbagi atau menerima. Justru perlu diantisipasi bahwa sikap-sikap dasar semacam itu akan menjadi sumber konflik, entah horizontal atau vertikal, dan menjadi kontraproduktif terhadap akselerasi seperti yang diinginkan.

Karena itu, tampak cukup jelas bahwa bila BODT ingin menjalankan peran sebagai koordinator, akselerator, dan eksekutor dengan legitimasi dan efektivitas yang tinggi, diperlukan desain pembangunan ekowisata yang berbasis masyarakat (community-based ecotourism) dan sungguh-sungguh memerhatikan respek budaya dan konservasi lingkungan (cultural and environmental conservation). Peran koordinatif yang dijalankan BODT pun hendaknya lebih bersifat fasilitatif dan kolaboratif. Dengan demikian, tetap terbuka ruang bagi masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah kabupaten untuk ambil bagian dalam seluruh proses pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan keberlanjutannya.

Tidak dapat dimungkiri bahwa semua prinsip di atas akan mewujudkan sustainable ecotourism yang berarti kawasan wisata Danau Toba akan menjadi destinasi yang akan berlangsung untuk selamanya. Ini bukan kumpulan proyek jangka pendek dan sektoral. Pengadaan dan pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, dermaga, atau fasilitas fisik lainnya dan penataan tata ruang, mungkin bisa dilakukan dalam waktu yang relatif lebih singkat (misalnya sampai 10 atau 15 tahun); tetapi konservasi alam dan nilai-nilai historis dan budaya masyarakat harus terus berlangsung karena sesungguhnya kegiatan dan manfaat ekonomi yang akan diperoleh semuanya bertitik tolak pada konservasi alam, sejarah, dan budaya masyarakat setempat.

Karena itu, keputusan pemerintah mendirikan BODT harus dibaca sebagai mengemban misi ganda yang tidak bisa dipisahkan: merawat (konservasi) dan memanfaatkan (utilisasi). BODT ditujukan untuk memuliakan seluruh kekayaan alam, budaya, tradisi, dan masyarakat, dan pada saat bersamaan memanfaatkannya sebagai sumber pendapatan dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan.


MANGADAR SITUMORANG

(Rektor Universitas Katolik Parahyangan)



Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Februari 2016, di halaman 7 dengan judul “Badan Otorita Danau Toba”.

Beda EGI dengan PGI

Dalam menilai properti hunian penghasil pendapatan (seperti apartemen), pengganda pendapatan kotor digunakan sebagai metode untuk mene...